"I say never be complete. I say stop being perfect. I say let's evolve. Let the chips fall where they may." —Fight Club

Kamis, 25 November 2010

Bayangkan Wiji Tukul Bahagia !!!!

Siapa tak mengenal Wiji Tukul. Penyair cadel dengan wajah yang sengsara itu begitu terkenal dengan puisi2 realisnya. Wajah Wiji Tukul nampak sengsara, ahhhh, itu mungkin cuman imajinasiku ketika melihat potretnya yang kudonlot di internet, mungkin dia gak sesengsara yang kubayangkan. Aku memang tak pernah bertatap muka dengannya. Bahkan hingga kini kuburnyapun tak jelas dimana. Desas desus mengatakan, dia diculik dan dibunuh oleh Militer Indonesia karena aktifitas politiknya yang membahayakan kekuasaan negara. Bagiku, puisi2nya begitu hidup sehingga mampu menyadarkanku betapa kekuasaan hanyalah alat untuk menindas, hanyalah alat untuk mendominasi manusia agar tunduk dan menjadi budak. Coba baca puisi yang ini :

'Puisi Sikap'

Maunya mulutmu bicara terus Tapi tuli telingamu tak mendengar
Maumu aku ini jadi pendengar terus, bisu
Kamu memang punya tank, tapi salah besar kamu kalau karena itu aku lantas manut
Andai benar ada kehidupan lagi nanti setelah kehidupan ini
Maka akan kuceritakan kepada semua mahkluk
Bahwa sepanjang umurku dulu telah kuletakkan rasa takut itu di tumitku
dan kuhabiskan hidupku untuk menentangmu...hei penguasa zalim

Tapi aku tak ingin membicarakan puisi2nya yang perih dan penuh perlawanan. Aku bukan kritikus sastra yang menganalisa sebuah karya dengan kupasan2 yang tajam dan intelektual. Untuk apa sebuah karya dianalisa dengan koridor2 yang hanya akan membatasi maknanya. Bukankah sebuah karya haruslah bebas sehingga maknanya bisa meluas laksana alam raya.

Aku hanya membayangkan wajah getirnya. wajah seorang manusia yang tertindas. Wajah seorang yang manusia yang melawan dengan kelemahannya. Wajahnya sering membuatku berpikir.Apakah melawan kekuasaan harus sengsara. Apakah melawan tidak bisa dilakukan dengan gembira, dengan suka cita, dengan rasa cinta akan hidup yang lebih berarti daripada sekedar jalan2 dan belanja di mall atau hidup di sebuah rumah idaman seperti yang dipertontonkan di TV. Taek !!! Bukan itu hidup yang sebenarnya.

Hidup memang tak semudah yang kita bayangkan, sebuah perlawananpun bukan sebuah jalan singkat yang bisa kita beli karena kita banyak uang. Perlawanan adalah sebuah jalan panjang yang penuh liku dan terjal. Ada dinamika, ada dialektika. Aku teringat kisah Sisifus, yang dikutuk untuk selama-lamanya mengulangi tugas yang sia-sia mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Albert Camus bilang "Bayangkan Sisifus bahagia". Buset, bagaimana bisa seorang yang dihukum dengan pekerjaan yang membosankan bisa berbahagia. Bukankan sudah pasti dia akan menderita dan sengsara karena terjerembab dalam kebosanan yang tak berujung. Tapi Camus ada benarnya juga, kenapa kita bersedih dengan kebosanan yang menimpa kita, mengapa kita tidak melawannya. ya, hanya dengan melawan kita bisa menjadi bahagia atas kebosanan yang mendera kita. hohohoho...Itu dia poinnya, kita melawan dengan bahagia. Dengan bersenang2 kita bisa menikmati perlawanan itu. Emma Goldman pernah bilang : Itu bukan revolusiku, jika aku tak bisa berdansa !!!!

Akhirnya, aku mulai bisa membayangkan wajah Wiji Tukul yang berbahagia dengan perlawanannya. Aku membayangkan Wiji Tukul tersenyum riang, ketika puisi2nya terus dibaca dan mampu membakar jiwa2 yang lelah tertindas. Jiwa2 yang bosan akan hidup yang menderanya. Bayangkan Wiji Tukul bahagia !!!
Eh, mungkin juga Wiji Tukul tersenyum masam, melihat kawan2 aktivisnya yang kini duduk di lingkar kekuasaan ternyata tak membawa perubahan apa2. Mereka asik dengan empuknya kursi kekuasaan, mewahnya puja puji, glamornya kehidupan politikus laksana artis2 sinetron yang tebar pesona di Televisi. Ternyata kekuasaan bisa membuat orang menjadi lupa pada banyak hal, bahkan pada nasib seorang kawan seperjuangan yang hilang karena melawan kekuasaan. Hahahaha, serigala tetaplah serigala, walaupun mereka menyamar sebagai domba. Huh, mereka memang menyebalkan.

Sudahlah, persetan dengan mereka, yang penting aku kini bisa membayangkan Wiji Tukul bahagia. Dimanapun dia kini berada, Bayangkan Wiji Tukul Bahagia !!! Dan hingga mati dia akan tetap melawan.

...sepanjang umurku dulu telah kuletakkan rasa takut itu di tumitku
dan kuhabiskan hidupku untuk menentangmu...hei penguasa zalim !!!

Tidar, 25 November 2010

Minggu, 21 November 2010

Maria Ozawa dan Tumpukan Jurnal Apokalips.

Maria Ozawa dan Tumpukan Jurnal Apokalips

"Fucking and shooting are the same."
-- Gudrun Ensslin, Der Baader Meinhof Complex.

aku tak sungguh mengenalmu
tapi kau seringkali singgah dalam hasratku
dan kerap meninggalkan jejak di tiap lenguh napasku

tarian erotis Maria Ozawa
dan tumpukan jurnal Apokalips yang rebah di kamarku

aku bimbang diantara dua pilihan :

akankah bertelanjang
dan memicu gairah senggama di sela kebosanan
menuju goncang selangkangan

ataukah tetap bertelanjang
tapi memacu darah bersama kawan kawan di jalanan
menuju perang peradaban


| Malang. 27 Oktober 2010

-------------------------------------------------------------

Itu dia satu kegalauan puitik dari Adek yang Imut.

Untuk kontak serta karya-karya galau membara yang lain dari Adek yang Imut,
silahkan klik di sini

Sabtu, 20 November 2010

Belajar Sejarah, Cuy!

Ini ada semacam kutipan dari majalah lama tentang sejarah pergerakan anarkisme di Melayu sekitar tahun 20-an. Judulnya "Gerakan Anarkis di Tanah Melayu 1919-1925".

Mungkin memang tidak memberikan segala hal tentang apa yang terjadi pada masa itu, mengingat biasanya sejarah hanyalah milik mereka yang mampu mengalaminya. Tapi paling tidak, dari sekelumit yang tersisa ini, kita mengerti bahwa gerakan-gerakan semacam ini bukanlah sesuatu yang lahir dari utopia, bukan sesuatu yang baru, dan ternyata telah memiliki akar perjalanan sejarahnya sendiri yang amat panjang, khususnya di tanah melayu.

Silahkan didownload di sini